Aku mendesah pada masa sepi
Penuh bangkai bertebaran,
dengan sejuta pedang yang menancap pada hatiku yang lemah
Ketika guncangan datang tuk hancurkan mimpiku
Merpati putih yang menghampiri tak lagi berarti
Hanya air tanpa nama yang mengalir,
mengukir sebuah sungai lumpur di pipiku
Aku tak berani bercermin
Mataku tak sanggup menyisir lautan kehidupan
Hingga pada suatu ketika
Malaikat datang meluncur di atas pelangi
Mendudukkanku pada kursi rapuh
Namun jauh lebih kuat dari sebelumnya
Mengapa kini kau mati ?
Mengapa kau memenjarakan semua asamu
Bukankah kau ksatria penantang ular ?
Mengapa tak kau ijinkan keberanian merasuk di tubuhmu ?
Mengapa kau sia – siakan titipan – Nya ?
Oh.. Kau begitu bodoh !
Kau nampak putih hina !
Aku menjerit !
Membuang segala darah kotor,
menekan kebosanan,
mengubur semua rasa sakit,
dan meloncat pada esok hari penuh embun yang menetes
mendinginkan hati dan jiwa
Aku tahu,
Kecewa tak akan membuatku menjadi pemenang
Marah tak akan membuatku menjadi yang terhormat
Lelah tak akan membuatku menjadi yang dikasihi
Kini kunikmati nyanyian merdu
Berhias tawa, dengan pancaran terang dari kedua bola mataku
Aku tak lagi menjadi benalu
Aku kembali hidup
Aku berselimut kobaran api
Aku tak takut akan hentakkan raksasa,
yang dapat membelah tanah di mana aku berdiri
Aku bahagia, sungguh bahagia !
Karena aku telah berani melawan petir ataupun mentari
Aku tak lagi peduli seberapa dalam luka yang tergores di hatiku
Karena aku hidup, bukan untuk mati
Aku hidup, untuk hidup selama – lamanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar