Rabu, 30 Maret 2011

Belum Malu, atau Tak Punya Malu ?

Kamu masih merasa kurang ? Bukankah uang slalu mengalir lancar ke kantongmu meski kamu hanya tidur di saat sidang berlangsung ? Fasilitas yang berlebih kamu anggap apa selama ini ? Sekarang justru uang kami kamu pakai untuk membangun gedung 36 lantai dengan segudang fasilitas...

Kamu masih merasa kurang ? Masih pantaskah kamu kami banggakan ? Tak malukah kamu berlebel " wakil " kami meski kamu sebenarnya menusuk kami dari belakang ?

Kamu masih merasa kurang ? Lihat saudara - saudara kami.. Di bawah kolong jembatan mereka bernafas. Rumah kardus yang sebenarnya tak dapat melindungi mereka dari panas dan hujanlah yang selalu menemani hari - hari mereka. Tak pasti mereka dapat makan dalam sehari. Karena tak setiap hari mereka mendapatkan uang. Padahal mereka justru bekerja keras, bukan hanya tidur di ruang ber-AC..

Masih ingin membangun gedung ????

Senin, 28 Maret 2011

Dari orang tersayang...



Dari Tita, waktu aku ulang tahun yang ke 14, tahun kemaren...
makasih ya Ta..



Dari Om Jaka, oleh - oleh dari Jepang
Yang biru punyaku, yang pink punya mbak Lita
Arigato gozaimasu...

Aku dan Kamu, bukan Kita

Aku tak pernah tahu di mana dan bagaimana duniamu. Begitu pula sebaliknya, bahkan lebih buruk. Kamu tak pernah tahu siapa aku. Aku yang telah lama mengagumimu. Terkadang aku berfikir bahwa aku salah telah membencimu dan mencoba melupakan dirimu. Tapi, kurasa itu hal terbaik yang dapat kulakukan. 
Akhir semester dua, kelas tahun lalu, aku memang mulai simpatik padamu. Rasa simpatik itupun semakin menggebu terlebih setelah acara camping akhir tahun kemarin. Kukira itu hanyalah rasa simpatik sementara yang akan segera hilang setelah aku dan kamu tak sering lagi bertemu. Namun aku salah besar. Rasa simpatik itu justru tak terhapuskan hingga tahun tlah berganti. 
Berkali - kali aku mencoba membenci dan melupakanmu, tapi aku selalu saja gagal. Banyak alasan yang kucari agar aku dapat membenci dan melupakanmu. Perlahan tapi pasti, aku mulai mampu membenci dan melupakanmu. Meski saat ini belum seluruhnya aku membenci dan melupakanmu.
Aku yakin aku dapat membenci dan melupakanmu dalam kurun waktu tiga / empat bulan mendatang. Karena sebentar lagi kamu akan pergi meninggalkan tempat di mana rasa simpatik itu pernah timbul. Dan itu artinya, aku akan jarang melihatmu atau bahkan tak akan pernah lagi melihatmu . . .
Terimakasih untuk rasa simpatik yang kau buat hampir setahun belakangan ini . . .

Sabtu, 26 Maret 2011

"Bung Karno! Kau dan Aku Satu Zat..."



Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin djandji
Aku sudah tjukup lama dengar bitjaramu
dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl 17 Agustus 1945
Aku melangkah kedepan berada rapat disisimu
Aku sekarang api, aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat, satu urat
Di zatmu, di zatku, kapal2 kita berlajar
Di uratmu, di uratku, kapal2 kita bertolak & berlabuh 

Kutipan di atas adalah puisi karya penyair Chairil Anwar (1922-1949) berjudul Perdjandjian Dengan Bung Karno yang ditulis tahun 1948. Naskah asli tulisan tangan sang penyair itu masih tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. 
Dalam versi aslinya itu, kata ”lama” pada baris kedua tertulis mencuat dan terjepit di antara kata ”tjukup” dan ”dengar”. ”Aku sudah cukup ”lama” dengar bitjaramu....” Di bawah kata itu terdapat contrengan. Ada kesan kata ”lama” sempat lupa tercantumkan. Tentu ini hanyalah penafsiran atas teks asli. Yang jelas, begitulah naskah asli puisi disimpan dan bisa kita nikmati sebagai dinamika zaman perjuangan yang terekam lewat puisi, yang oleh HB Jassin kemudian digolongkan sebagai Angkatan ’45.
Gelegak revolusi itu terekam benar lewat tulisan tangan Chairil. Dan di sanalah, di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, gelegak ”api” dan ”laut” Chairil itu tersimpan. Sungguh memprihatinkan dokumentasi semangat zaman itu dalam kondisi merana terbengkalai sekarang.
Sesudah Chairil Anwar meninggal tahun 1949, karyanya menjadi rebutan para penerbit. Namun, Chairil sudah mengumpulkan sendiri karya-karya sajaknya dan diserahkan kepada PDS HB Jassin. 

Surat cinta Motinggo
PDS HB Jassin tidak sekadar menjadi ”gudang” karya sastra, tetapi juga dinamika kehidupan para pelaku sastra dari zaman ke zaman. Jassin memang rajin mengumpulkan tulisan tangan, catatan kecil dan surat-surat yang ditulis para penulis. Surat pernyataan Motinggo Boesje yang asli dengan judul ”Saya Menolak Hadiah Sastra 1962” masih tersimpan di PDS HB Jassin.
Surat pernyataan yang ditulis bulan Januari 1953 itu berisi penolakan Motinggo atas hadiah sastra yang diberikan untuk cerita pendeknya. Menurut dia, ukuran keberhasilan karya sastra tidak dapat diukur dari penghargaan-penghargaan yang diperoleh.
Kisah hidup penulis flamboyan ini juga terungkap dari catatan-catatan kecil yang dikirimkan Mas Mot (panggilan untuk Motinggo Boesje) kepada beberapa perempuan. Dalam catatan itu, Mas Mot menulis puisi cinta lengkap dengan lukisan sketsa ketika sedang rindu, menyesal, atau kangen kepada sang kekasih.
Mari kita baca puisi Motinggo Boesje yang juga ditulis tangan, lengkap dengan ilustrasi bunga-bunga. Kita kutip bait pertama dan terakhir dari puisi karya novelis, cerpenis, dan sutradara itu. Di bawah puisi itu tertera angka tahun 1988.
”Inilah buah indah rasa bersalah/Penyesalan ibarat memindah dua gunung/Masih saja membayang tangismu pagi itu/Air matamu membasuh hati yang berdebu...”
”Sudahlah. Kesekian kali kumohon maafmu/Matamu bagaikan malam dengan dua lampu.”
Jassin menyimpan naskah-naskah yang dikirimkan para pengarang ini dengan takzim, seolah itu amanat yang tidak bisa diabaikan. Sungguh ironis jika kemudian kita membiarkannya tanpa arti, bahkan menganggapnya sebagai coretan berdebu tak bermakna. Dan pengelola PDS HB Jassin, Endo Senggono, mengaku belum semua naskah asli itu disimpan dalam bentuk digital. ”Belum. Masih dalam map begitu saja,” katanya.
Tidak hanya karya sastra. Jassin juga menyimpan dokumen, seperti undangan perkawinan Motinggo dengan Lashmi Bachtiar pada 2 September 1962. Pada keterangan ”Djam” dan tempat tertulis: ”Djam 12.00 s/d 15.00 siang di Djalan Salemba Tengah II No 7 Djakarta”. Nama Motinggo dalam undangan tertulis sebagai Bustami Djalid. Di belakang nama itu tercantum nama senimannya, Motinggo Busje (ejaan sesuai dengan aslinya).
HB Jassin tidak hanya menyimpan, tetapi juga mencatat dengan sangat detail peristiwa berkait dengan sastra dan para pelakunya. Kita tengok bagaimana sepotong kehidupan Pramudya Ananta Toer tercatat dalam buku harian.
Pada hari Kamis 1 Maret 1954, misalnya, HB Jassin menulis, kunjungan Pramudya Ananta Toer pada pukul 19.30-20.15 di rumah Jassin. Pramudya yang baru pulang dari Blora, Jawa Tengah, ini membawa naskah cerita perjalanan. Dari catatan harian itu tergambar dinamika kehidupan penulis Pramudya atau Pram pada masa lalu. Ceritanya, Pram sedang butuh uang segera. Ia sudah memasukkan tulisan perjalanan ke majalah Mimbar, tetapi majalah itu tidak bisa segera membayar honornya. Tulisan Pram itu dirasa Jassin cocok untuk majalah Zenith, tetapi majalah ini sering terlambat terbit.
Setidaknya kita bisa merekonstruksi, betapa pilihan hidup sebagai pengarang seperti Pram penuh dengan kenyataan pahit. Sesungguhnya celaka jika nasib dokumentasi mereka pun kini kita abaikan.

Merana
Dokumen kebudayaan itu tersimpan di antara buku-buku sastra, prosa dan puisi, naskah drama, catatan biografi, tulisan tangan, dan surat-menyurat sastrawan besar di Tanah Air. Sebagian dokumen tersimpan di rak yang berderet memenuhi ruangan, sebagian lagi dibiarkan menumpuk begitu saja.
Tumpukan koran dan majalah tua berjubel di sela-sela rak buku yang sudah tidak muat lagi menyimpan tambahan koleksi. Kondisinya berdebu. Kertasnya sudah lapuk dan berwarna kuning kecoklatan. Benda-benda itu seperti benda bekas yang sudah usang. Sementara di dalamnya tersimpan jejak sejarah yang mencerminkan cara berpikir intelektual kita pada masa lalu.
Di antara tumpukan tadi masih bisa ditemukan majalah yang terbit di Indonesia pada awal Perang Dunia II (tahun 1940), seperti Pujangga Baru dan Panji Pustaka. Ada juga majalah Jawa Baru dan Kebudayaan Timur yang terbit di Indonesia pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945. Koleksi lain yang lebih tua, seperti Kumpulan Sastra Melayu Tionghoa terbitan tahun 1900-1940, tersimpan di dalam sebuah lemari kaca.
Dengan ribuan buku, suasana pusat budaya itu sangat pengap. ”Sudah biasa kalau pengatur suhu udara di sini dimatikan. Dulu ketika pertama kali pusat dokumentasi ini resmi didirikan tahun 1977, enam bulan kemudian kami tidak mampu membayar listrik sehingga AC harus dimatikan total,” kata Harkrisyati Kamil atau Yati, yang pernah menjadi Kepala Dokumentasi PDS HB periode 1979-1983 mengenang.
Agar suhu di ruang dokumentasi tidak panas, Yati dan teman-temannya selalu membuka jendela lebar-lebar, lalu menyalakan kipas angin. ”Untungnya, waktu gedung itu dibangun, saya minta Pemerintah DKI Jakarta membuatkan jendela-jendela berukuran besar,” tutur Yati. Menurut Yati, gedung PDS HB Jassin yang dibangun pada masa Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta itu awalnya dirancang tanpa jendela.

Dirintis
Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin dirintis oleh penulis, penyunting, dan kritikus sastra almarhum Hans Bague (HB) Jassin. Penulis kelahiran Gorontalo, 13 Juli 1917, ini mengumpulkan dokumentasi sejak tahun 1930. Pada waktu ia masih berusia 13 tahun, HB Jassin gemar menyimpan buku-buku harian, buku-buku sekolah, karangan-karangan yang pernah ditulis di kelas, hingga surat dan foto pribadinya.
Kini pusat dokumentasi itu menyimpan 16.316 judul buku fiksi, 11.990 judul buku nonfiksi, 457 judul buku referensi, 772 judul buku/naskah drama, 750 map berisi biografi pengarang, 15.552 map kliping dari berbagai sumber, 610 lembar foto pengarang, 571 judul makalah, 630 judul skripsi dan disertasi, serta 732 kaset rekaman suara dan 15 kaset rekaman video dari para sastrawan Indonesia. Jumlahnya terus bertambah karena pengelola selalu memperbanyak koleksi. Boleh dibilang, PDS HB Jassin adalah pusat dokumentasi sastra modern Indonesia terlengkap. Bahkan, ada yang menyebutnya terlengkap di dunia, tetapi kenapa nasibnya begitu mengenaskan?
(Lusiana Indriasari/Luki Aulia/Putu Fajar Arcana/Frans Sartono)

sumber : kompas.com

Antara Roy Suryo dan Lion Air

di twitter kok pada bicarain Roy Suryo sih ?! Emangnya kenapa ???
mau tahu ?? baca artikelnya di link - link ini . . .






http://www.detiknews.com/read/2011/03/26/193420/1601979/10/lion-air-harus-perbaiki-sistem-check-in-penumpang?9911012

Terimakasih Pak Menteri . . .

Hari ini ada peresmian program "e-education" atau pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan di DIY, di sekolahku, SMPN 1 Bantul. Banyak orang 'penting' yang datang. Mulai dari Bapak Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, Pak Tifatul Sembiring, selaku Menkominfo RI, hingga Kohara dari Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga yang mendanai program tersebut.
Acaranya bener - bener mewah dan meriah. Banyak bakat siswa - siswi SMPN 1 Bantul yang disuguhkan untuk para tamu. Mulai dari modelling, vocal group, melukis, menari, membatik, dan masih banyak lagi. Tugasku adalah mendemonstrasikan di depan para tamu, termasuk Pak Tifatul, program yang baru saja diresmikan tersebut bersama 19 teman lainnya. Walaupun Pak Tifatul tadi ga sempet ngajak aku ngobrol, tapi aku seneng banget. Waktu aku nunggu jemputan bareng Ciput sama Erisa, mobil hitam mengkilat ber-plat RI 43 berjalan pelan dan tiba - tiba terbukalah jendela tengah mobil tersebut. Tersenyumlah sesosok ramah dengan lambaian tangannya. " Terimakasih atas senyumannya, Pak Menteri Komunikasi dan Informatika.. "

Kamis, 24 Maret 2011

Ali Syakieb

Ali Syakieb ? Oh itu kakak ane..
cakepnya sama kayak ane...
wkwkwkwkwkwk...

hanya mengagumi ketampanannya,
bukan mengidolakan....
karena idola saya hanya satu,
NABI MUHAMMAD SAW ...